ini adalah alasan Mengapa Gontor Tidak Mewah Gedungnya dan Fasilitasnya? sebuah pelajaran yang sangat luhur dari pendiri dan kyai pondok kita. Sumber tidak dijelaskan....
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
KH. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri PP. Daarussalam Gontor, jarang sekali memberi defenisi ilmiyah untuk pesantren. Lebih sering beliau memberikan batasan-batasannya. "Pesantren itu bukan hotel", "Kyai itu bukan manager, "Uang itu penting tetapi jangan yang dipentingkan uang."
Suatu hari, di Gontor, saya mengikuti kuliah umum Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid. Beliau mengomentari proses pendidikan di Universitas Paramadina; Satu hal, kata beliau, yang sangat sulit kami dididikkan di Paramadina adalah kesederhanaan.
Bukannya tidak ingin dan tidak cemburu, jika membaca berita tentang kemewahan Pondok Pesantren Az-Zaitun, namun karena khawatir kehilangan idealisme, maka sampai hari ini saya selalu mencegah diri saya sendiri untuk berkunjung ke sana. Ada satu nilai yang saya pastikan akan sulit ditanamklan di sana, kesederhanaan. Dan jika kesederhanaan sudah hilang maka bersamanya pesantrenpun turut hilang juga.
Kini, situasi dan kondisi masyarakat memang telah berubah. Kemakmuran melahirkan banyak tuntutan terutama ketika masyarakat elit sudah mulai melirik pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi putra putri mereka. Saya teringat sebuah pesantren di Jawa Tengah yang didirkan oleh seorang saudagar kaya raya, karena menuruti tuntutan sejawatnya para orang kaya yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren tersebut, maka fasilitaspun ditingkatkan: Ada santri dengan kamar khusus, dapur khusus, peralatan khusus dan tentu saja bayaran khusus. Apa hasilnya setelah puluhan tahun? Pesantren itu mundur drastis.
Ada lagi di Jawa Barat, seorang dermawan kaya raya, mendirikan Pesantren mewah dan semuanya serba gratis. Ternyata juga tidak maju-maju dan tetap saja kesulitan mencari santri.
Beda dengan Gontor yang saat ini sudah menampung sekitar 24,000 santri yang terbagi di delapan cabang-cabangnya. Sudah ada gedung bertingkat lima, namun masih ada yang berdinding gedek dan berlantai tanah. Makan, minum, mandinya pun masih antri panjang. Gontor sampai hari ini masih dengan tegas membedakan antara pesantren dengan hotel. Kesukaan dan kebahagiaan para santri tidak karena faktor fasilitasnya yang menyenangkan.
Seorang wali santri gontor asal Singapura saya tanya: mengapa anda tidak menyekolahkan anak di Pesantren Elit? Jawab beliau: "Saya memerlukan lembaga pendidikan yang mampu mendidik anak-anak kami agar bisa hidup sederhana dan mandiri. Hal itulah yang kami tidak mampu lakukan di rumah".
Tidak sekali dua kali saya ditantang oleh sahabat-sahabat yang dermawan untuk membangun gedung-gedung yang mewah agar orang-orang kaya mau memasukkan anaknya di Pesantren (Semoga Allah menerima niat mulianya sebagai ibadah). Saya menjawab: Saya tidak ingin anak-anak pondok ini senang belajar di sini karena fasilitas yang mewah. Mereka harus senang dan bahagia karena kegiatan dan tantangannya.
Tentu saja mereka, para santri masih sangat beruntung karena semua itu berada di dalam lingkungan yang terjaga dan terbimbing., kesederhanaan bukan karena kemiskinan dan kere, tetapi memang disetting sedemikian rupa untuk tujuan membangun mentalitas tangguh. Harapannya adalah, kelak ketika harus menghadapi kenyataan yang keras ditengah-tengah masyarakat, bekal mental itulah yang akan menolong mereka untuk tetap tegak dan tegar. Kalau makmur alhamdulillah, kalau tidak toh sudah terbiasa.
Wallahulmusta'aan. Amiin
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
copas dari group sbelah.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
KH. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri PP. Daarussalam Gontor, jarang sekali memberi defenisi ilmiyah untuk pesantren. Lebih sering beliau memberikan batasan-batasannya. "Pesantren itu bukan hotel", "Kyai itu bukan manager, "Uang itu penting tetapi jangan yang dipentingkan uang."
Suatu hari, di Gontor, saya mengikuti kuliah umum Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid. Beliau mengomentari proses pendidikan di Universitas Paramadina; Satu hal, kata beliau, yang sangat sulit kami dididikkan di Paramadina adalah kesederhanaan.
Gontor tempo dulu difoto dari udara |
Bukannya tidak ingin dan tidak cemburu, jika membaca berita tentang kemewahan Pondok Pesantren Az-Zaitun, namun karena khawatir kehilangan idealisme, maka sampai hari ini saya selalu mencegah diri saya sendiri untuk berkunjung ke sana. Ada satu nilai yang saya pastikan akan sulit ditanamklan di sana, kesederhanaan. Dan jika kesederhanaan sudah hilang maka bersamanya pesantrenpun turut hilang juga.
Kini, situasi dan kondisi masyarakat memang telah berubah. Kemakmuran melahirkan banyak tuntutan terutama ketika masyarakat elit sudah mulai melirik pesantren sebagai lembaga pendidikan bagi putra putri mereka. Saya teringat sebuah pesantren di Jawa Tengah yang didirkan oleh seorang saudagar kaya raya, karena menuruti tuntutan sejawatnya para orang kaya yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren tersebut, maka fasilitaspun ditingkatkan: Ada santri dengan kamar khusus, dapur khusus, peralatan khusus dan tentu saja bayaran khusus. Apa hasilnya setelah puluhan tahun? Pesantren itu mundur drastis.
Ada lagi di Jawa Barat, seorang dermawan kaya raya, mendirikan Pesantren mewah dan semuanya serba gratis. Ternyata juga tidak maju-maju dan tetap saja kesulitan mencari santri.
Beda dengan Gontor yang saat ini sudah menampung sekitar 24,000 santri yang terbagi di delapan cabang-cabangnya. Sudah ada gedung bertingkat lima, namun masih ada yang berdinding gedek dan berlantai tanah. Makan, minum, mandinya pun masih antri panjang. Gontor sampai hari ini masih dengan tegas membedakan antara pesantren dengan hotel. Kesukaan dan kebahagiaan para santri tidak karena faktor fasilitasnya yang menyenangkan.
Seorang wali santri gontor asal Singapura saya tanya: mengapa anda tidak menyekolahkan anak di Pesantren Elit? Jawab beliau: "Saya memerlukan lembaga pendidikan yang mampu mendidik anak-anak kami agar bisa hidup sederhana dan mandiri. Hal itulah yang kami tidak mampu lakukan di rumah".
Tidak sekali dua kali saya ditantang oleh sahabat-sahabat yang dermawan untuk membangun gedung-gedung yang mewah agar orang-orang kaya mau memasukkan anaknya di Pesantren (Semoga Allah menerima niat mulianya sebagai ibadah). Saya menjawab: Saya tidak ingin anak-anak pondok ini senang belajar di sini karena fasilitas yang mewah. Mereka harus senang dan bahagia karena kegiatan dan tantangannya.
Tentu saja mereka, para santri masih sangat beruntung karena semua itu berada di dalam lingkungan yang terjaga dan terbimbing., kesederhanaan bukan karena kemiskinan dan kere, tetapi memang disetting sedemikian rupa untuk tujuan membangun mentalitas tangguh. Harapannya adalah, kelak ketika harus menghadapi kenyataan yang keras ditengah-tengah masyarakat, bekal mental itulah yang akan menolong mereka untuk tetap tegak dan tegar. Kalau makmur alhamdulillah, kalau tidak toh sudah terbiasa.
Wallahulmusta'aan. Amiin
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
copas dari group sbelah.
Mengapa Gontor Tidak Mewah Gedungnya dan Fasilitasnya?
4/
5
Oleh
Doc Abdul Halim