Monday, June 6, 2016

Bersyukur dari Sejarah Gontor versi wartawan

ini adalah sebuah pesan berantai dari seorang wartawan alumni Gontor, tentang Bersyukur dari Sejarah Gontor versi wartawan. Silahkan disimak...

Dari seorang wartawan dan alumni Gontor :
Kawan2...kita harus pandai2 bersyukur. Ane belakangan ini mengkaji ulang sejarah Gontor. Luar biasa.

Bermula dari Pesantren Tegalsari di Jetis. Pondok ini didirikan kyai besar Muhammad Hasan Besari. Ini adalah bapaknya kyai2 sekarang ni. Dari beliau, lahirlah orang2 hebat, diantaranya adalah Raja Mataram, Pakubuwono II. Kemudian ada juga Ronggowarsito, Batoro Katong, dan HOS Cokroaminoto. Yang terakhir itu adalah gurunya Soekarno dan Kartosoewirjo.

Kemudian Tegalsari juga memiliki santri yang kemudian mendirikan pondok Tremas di Pacitan. Pondok yang dikatakan Cak Nur sebagai pondok yang tua.

Santri Tegalsari juga ada yg cerdas dan pintar. Dia adalah bangsawan kesultanan cirebon, Sulaiman Jamaludin. Dia diangkat mantu oleh kyai Tegalsari, dan diberikan tanah di Desa Gontor untuk dijadikan pesantren. Begitulah cikal bakal Gontor, pesantren yang banyak membentuk kepribadian kita.‎

Nah, bagaimana Gontor di masa trimurti?

Kyai Sulaiman Jamaludin berhasil mendirikan pondok Gontor. Santrinya terus berdatangan dari berbagai daerah. Namun pada generasi ketiga, di era kepemimpinan Kyai Santoso Anom Besari, gontor tutup, karena tidak ada kaderisasi. Ibu nyai bertekad agar pondok berlanjut dan tidak mati. Dia menyekolahkan 3 putranya: Kyai Ahmad Sahal, Kyai Zainudin Fananie, dan Kyai Imam Zarkasyi.

Kyai Sahal ini disekolahkan di pesantren salaf. Zainudin Fananie di sekolah modern. Begitu juga Imam Zarkasyi.

Nah, Kyai Sahal pulang lebih dulu dan mendirikaan tarbiyatul Atfal. Zainudin Fanani sekolah di Muhammadiyah. Beliau ternyata bukan kader biasa, tapi kader terbaik, teman akrab Hamka dan Mahfudz Sidik.

Hamka ditugaskan berdakwah di Sumatra Barat. Zainudin Fanani di Sumatra Selatan. Dua orang ini akrab sekali. Hamka dikabarkan menjadi macomblang Kyai Fananie. Istri beliau adalah orang padang.

Hamka menulis novel tenggelamnya kapal Van Der Wijk. Ada tokoh utama bernama Zainudin. Itu maksudnya adalah Zainudin Fananie.

Zainudin membuat buku tentang pendidikan modern. Didalamnya ada pendidikan keorganiasasian, pendidikan kepemimpinan, dan pendidikan masyarakat. Semua itu disatukan menjadi Kulliyatul Muallimin al Islamiyah (KMI). Pak Zar kemudian mencoba konsep ini di Padang Sidempuan. Dan berhasil. Masyarakat merespon dengan cepat untuk menyekolahkan anak2nya di sana.

Pak Fananie dan Pak Zar kemudian memberitahukan keberhasilan sistem KMI ini ke Pak Sahal. Dan Pak Sahal yang berlatarbelakang pendidikan salaf langsung menerimanya. Dia kemudian menyatakan, "Bondo Bahu Pikir lek Perlu sak nyawane pisan." ini untuk kemajuan pondok


Pak Sahal sangat mendukung konsep ini, karena beliau pernah menghadiri kongres umat Islam di Surabaya pada 1920an. Di sana kyai - kyai berkumpul untuk konsolidasi. Salah satu poinnya adalah mengutus orang yang pintar berbahasa Inggris dan Arab untuk mengikuti muktamar internasional. Sayangnya tidak ada yg menguasai dua bahasa itu sekaligus. Akhirnya diutuslah HOS Cokroaminoto yang pintar berbahasa Inggris. Dan KH Mas Mansyur yang pandai Bahasa Arab.

Sementara itu, tidak ada perwakilan dari NU. Dua orang itu adalah representasi dari ormas sarekat Islam dan Muhammadiyah.‎

Nah Pak Zar ingin santri2 menguasai bahasa asing. Ini untuk bekal kehidupan mereka. Perlu ada pola pendidikan baru yang mengandung kemodernan. Makanya beliau nerima sistem KMI yang diajukan Pak Zar dan Pak Fananie.‎

Cerita masih bersambung. Ini untuk mengingatkan almamater yg telah melahirkan orang2 hebat. Renungan untuk kita semua agar bersyukur

Silahkan disimpan. Orang hebat adalah mereka yg mengetahui sejarahnya

Related Posts

Bersyukur dari Sejarah Gontor versi wartawan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.